Sabtu, 13 April 2013

UNDANG-UNDANG METROLOGI LEGAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 1981
TENTANG
METROLOGI LEGAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa untuk melindungi kepentingan umum perlu adanya jaminan dalam kebenaran
pengukuran serta adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pemakaian satuan
ukuran, standar satuan, metoda pengukuran dan alat-alat ukur, takar, timbang dan
perlengkapannya;
b. bahwa pengaturan tentang alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya
sebagaimana ditetapkan, dalam Ijkordonnantie 1949 Staatsblad Nomor 175 perlu diganti,
karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan perekonomian dan kemajuan
teknologi, serta sesuai dengan Sistem Internasional untuk satuan (SI);
c. bahwa untuk mencapai tujuan sebagai dimaksud diatas perlu mengaturnya dalam suatu
Undang-undang tentang Metrologi Legal.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-garis
Besar Haluan Negara.
Dengan persetujuan:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG METROLOGI LEGAL
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Undang-undang ini dan Peraturan Pelaksanaannya dengan:
a. Metrologi adalah ilmu pengetahuan tentang ukur-mengukur secara luas;
b. Metrologi Legal adalah metrologi yang mengelola satuan-satuan ukuran, metodametoda
pengukuran dan alat-alat ukur, yang menyangkut persyaratan teknik dan
peraturan berdasarkan Undang-undang yang bertujuan melindungi kepentingan umum
dalam hal kebenaran pengukuran;
c. Konvensi Meter (la Convention du Metre) ialah suatu perjanjian internasional yang
bertujuan mencari dan menyeragamkan satuan-satuan ukuran dan timbangan, yang
ditandatangani dan diselenggarakan di Paris pada tanggal 20 Mei 1875 oleh para utusan
yang berkuasa penuh dari 17 Negara;
d. Konperensi Umum untuk Ukuran dan Timbangan (la Conference Generale des Poids et
Mesures) ialah konperensi yang diadakan berdasarkan Konvensi Meter;
e. Biro Internasional untuk Ukuran dan Timbangan (le Bureau International des Poids et
Mesures) ialah Biro yang dibentuk berdasarkan Konvensi Meter;
f. Satuan Sistem international (le Systeme International d'Unites) selanjutnya disingkat SI
ialah satuan ukuran yang sistemnya bersumber pada suatu ukuran yang didapat
berdasarkan atas satuan dasar yang disahkan oleh Konperensi Umum untuk Ukuran dan
Timbangan;
g. satuan dasar ialah satuan yang merupakan dasar dari satuan-satuan suatu besaran
yang dapat diturunkan menjadi satuan turunan;
h. lambang satuan ialah tanda yang menyatakan satuan ukuran;
i. standar satuan ialah suatu ukuran yang sah dipakai sebagai dasar pembanding;
j. standar induk satuan dasar ialah standar satuan yang diterima dari Biro Internasional
untuk Ukuran dan Timbangan yang diangkat sebagai Standar Nasional atau Standar
Tingkat Satu;
k. alat ukur ialah alat yang diperuntukkan atau dipakai bagi pengukuran kuantitas dan atau
kualitas;
l. alat takar ialah alat yang diperuntukkan atau dipakai bagi pengukuran kuantitas atau
penakaran;
m. alat timbang ialah alat yang diperuntukkan atau dipakai bagi pengukuran massa atau
penimbangan;
n. alat perlengkapan ialah alat yang diperuntukkan atau dipakai sebagai pelengkap atau
tambahan pada alat-alat ukur, takar atau timbang, yang menentukan hasil pengukuran,
penakaran atau penimbangan;
o. alat penunjuk ialah bagian dari alat ukur, yang menunjukkan hasil pengukuran;
p. tempat usaha ialah tempat yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan perdagangan,
industri, produksi, usaha jasa, penyimpanan-penyimpanan dokumen yang berkenaan
dengan perusahaan, juga kegiatan-kegiatan penyimpanan atau pameran barang-barang,
termasuk rumah tempat tinggal yang sebagian digunakan untuk kegiatan-kegiatan
tersebut;
q. menera ialah hal menandai dengan tanda tera sah atau tanda tera batal yang berlaku,
atau memberikan keterangan-keterangan tertulis yang bertanda tera sah atau tanda tera
batal yang berlaku, dilakukan oleh pegawai-pegawai yang berhak melakukannya
berdasarkan pengujian yang dijalankan atas alat-alat ukur, takar, timbang dan
perlengkapannya yang belum dipakai;
r. tera ulang ialah hal menandai berkala dengan tanda-tanda tera sah atau tera batal yang
berlaku atau memberikan keterangan-keterangan tertulis yang bertanda tera sah atau
tera batal yang berlaku, dilakukan oleh pegawai-pegawai yang berhak melakukannya
berdasarkan pengujian yang dijalankan atas alat-alat ukur, takar, timbang dan
perlengkapannya yang telah ditera;
s. menjustir ialah mencocokkan atau melakukan perbaikan ringan dengan tujuan agar alat
yang dicocokkan atau diperbaiki itu memenuhi persyaratan tera atau tera ulang;
t. Menteri ialah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang Metrologi Legal.
BAB II
SATUAN-SATUAN
Pasal 2
Setiap satuan ukuran yang berlaku sah harus berdasarkan desimal, dengan menggunakan
satuan-satuan SI.
Pasal 3
(1) a. Satuan dasar besaran panjang adalah meter;
b. Satuan dasar besaran massa adalah kilogram;
c. Satuan dasar besaran waktu adalah sekon;
d. Satuan dasar besaran arus listrik adalah amper;
e. Satuan dasar besaran suhu termodinamika adalah kelvin;
f. Satuan dasar besaran kuat cahaya adalah kandela;
g. Satuan dasar besaran kuantitas zat adalah mole.
(2) Definisi yang berlaku bagi satuan-satuan dasar seperti tersebut pada ayat (1) pasal ini
adalah definisi terbaru yang ditetapkan oleh Konperensi Umum untuk Ukuran dan
Timbangan.
Pasal 4
Lambang satuan dari satuan-satuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-undang ini
adalah sebagai berikut:
Satuan: Lambang Satuan:
meter................................................. m
kilogram.............................................. kg
sekon................................................. s
amper................................................. A
kelvin................................................ K
kandela............................................... ed
mole.................................................. mol
Pasal 5
(1). Kecuali yang ditentukan dalam ayat (2) pasal ini, kelipatan-kelipatan dan bagian-bagian
desimal dari satuan-satuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-undang ini,
jika kelipatan-kelipatan dan bagian-bagian itu tidak dinyatakan dengan sebuah bilangan
di depan satuan atau lambang satuan dari satuan-satuan yang bersangkutan, maka di
depan satuan atau lambang satuan tersebut dapat dinyatakan dengan membubuhkan
salah satu dari awal kata atau lambang berikut:
Kelipatan/bagian desimal Awal kata Lambang
1 000 000 000 000 000 000 = 1018 eksa E
1 000 000 000 000 000 = 1015 peta P
1 000 000 000 000 = 1012 tera T
1 000 000 000 = 109 giga G
1 000 000 = 106 mega M
1 000 = 103 kilo k
1 00 = 102 hekto h
10 = 101 deka da
0,1 = 10-1 desi d
0,01 = 10-2 senti c
0,001 = 10-3 mili m
0,000 001 = 10-6 mikro u
0,000 000 001 = 10-9 nano n
0,000 000 000 001 = 10-12 piko p
0,000 000 000 000 001 = 10-15 femto f
0,000 000 000 000 000 001 = 10-18 atto a
(2). Seperseribu (0,001) bagian dari kilogram adalah gram yang dinyatakan dengan lambang
satuan g. Kelipatan-kelipatan dan bagian-bagian desimal dari kilogram, jika tidak
dinyatakan dengan sebuah bilangan di depan satuan atau lambang dari satuan kilogram
ini, maka harus dinyatakan dalam satuan gram.
Pasal 6
Derajat Celcius dari skala suhu dalam pemakaian secara umum yang titik nolnya sama dengan
273,15 K adalah sama dengan derajat kelvin.
Pasal 7
Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan:
a. satuan-satuan turunan dari satuan-satuan dasar baik mengenai besaran-besaran,
satuan-satuan maupun lambang-lambang satuannya;
b. satuan-satuan tambahan baik mengenai besaran-besaran, satuan-satuan maupun
lambang-lambang satuannya;
c. satuan-satuan lain yang berlaku dengan ketentuan-ketentuan dalam pemakaiannya.
BAB III
STANDAR-STANDAR SATUAN
Pasal 8
Standar-standar induk untuk satuan-satuan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
Undang-undang ini disebut Standar Nasional yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
Tatacara pengurusan, pemeliharaan dan pemakaian Standar Nasional yang dimaksud dalam
Pasal 8 Undang-undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 10
Susunan turunan-turunan dari Standar Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
Undang-undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1). Standar Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Undang-undang ini dibina oleh
suatu lembaga yang khusus dibentuk untuk itu.
(2). Susunan organisasi dan tata kerja lembaga tersebut dalam ayat (1) Pasal ini ditetapkan
dengan Keputusan Presiden.
BAB IV
ALAT-ALAT UKUR, TAKAR, TIMBANG DAN PERLENGKAPANNYA
Pasal 12
Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan tentang alat-alat ukur, takar, timbang dan
perlengkapannya yang:
a. Wajib ditera dan ditera ulang;
b. dibebaskan dari tera atau tera ulang, atau dari kedua-duanya;
c. syarat-syaratnya harus dipenuhi.
Pasal 13
Menteri mengatur tentang:
a. pengujian dan pemeriksaan alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya;
b. pelaksanaan serta jangka waktu dilakukan tera dan tera ulang;
c. tempat-tempat dan daerah-daerah dimana dilaksanakan tera dan tera ulang alat-alat
ukur, takar, timbang dan perlengkapannya untuk jenis-jenis tertentu.
Pasal 14
a. Semua alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang pada waktu ditera atau
ditera ulang ternyata tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 huruf c Undang-undang ini dan yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi, dapat
dirusak sampai tidak dapat dipergunakan lagi, oleh pegawai yang berhak menera atau
menera ulang.
b. Tatacara pengrusakan alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya diatur oleh
Menteri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 15
Pegawai yang berhak menera atau menera ulang berhak juga untuk menjustir alat-alat ukur,
takar, timbang dan perlengkapannya yang diajukan untuk ditera atau ditera ulang apabila
ternyata belum memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c
Undang-undang ini.
Pasal 16
(1). Untuk pekerjaan tera dan tera ulang atau pekerjaan-pekerjaan lain yang ada
hubungannya dengan pengujian alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya
dikenakan biaya tera.
(2). Biaya tera sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, ditetapkan dan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
Untuk membuat dan atau memperbaiki alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya
harus memperoleh izin Menteri.
Pasal 18
Setiap pemasukan alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya ke dalam wilayah
Republik Indonesia harus dengan izin Menteri.
BAB V
TANDA TERA
Pasal 19
(1). Jenis-jenis tanda tera:
a. tanda sah;
b. tanda batal;
c. tanda jaminan;
d. tanda daerah;
e. tanda pegawai yang berhak.
(2). Pengaturan mengenai ukuran, bentuk, jangka waktu berlakunya, tempat pembubuhan
dan cara membubuhkan tanda-tanda tera sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal
ini diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.
Pasal 20
(1). Tanda sah dibubuhkan dan atau dipasang pada alat-alat ukur, takar, timbang dan
perlengkapannya yang disahkan pada waktu ditera atau ditera ulang.
(2). Tanda batal dibubuhkan pada alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang
dibatalkan pada waktu ditera atau ditera ulang.
(3). Tanda jaminan dibubuhkan dan atau dipasang pada bagian-bagian tertentu dari alat-alat
ukur, takar, timbang atau perlengkapannya yang sudah disahkan untuk mencegah
penukaran dan atau perubahan.
(4). Tanda daerah dan tanda pegawai yang berhak dibubuhkan pada alat-alat ukur, takar,
timbang atau perlengkapannya, agar dapat diketahui dimana dan oleh siapa peneraan
dilakukan.
(5). Tanda sah dan tanda batal yang tidak mungkin dibubuhkan pada alat-alat ukur, takar,
timbang dan perlengkapannya diberikan surat keterangan tertulis sebagai penggantinya.
Pasal 21
Surat keterangan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5) Undang-undang ini
adalah bebas dari bea materai.
BAB VI
BARANG DALAM KEADAAN TERBUNGKUS
Pasal 22
(1). Semua barang dalam keadaan terbungkus yang diedarkan, dijual, ditawarkan atau
dipamerkan wajib diberitahukan atau dinyatakan pada bungkus atau pada labelnya
dengan tulisan yang singkat, benar dan jelas mengenai .
a. nama barang dalam bungkusan itu;
b. ukuran, isi, atau berat bersih barang dalam bungkusan itu dengan satuan atau
lambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 7 Undangundang
ini;
c. jumlah barang dalam bungkusan itu jika barang itu dijual dengan hitungan.
(2). Tulisan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini harus dengan angka Arab dan
huruf latin disamping huruf lainnya dan mudah dibaca.
Pasal 23
(1). Pada tiap bungkus atau label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-undang
ini wajib dicantumkan nama dan tempat perusahaan yang membungkus.
(2). Semua barang yang dibuat atau dihasilkan oleh perusahaan yang dalam keadaan tidak
terbungkus dan diedarkan dalam keadaan terbungkus, maka perusahaan yang
melakukan pembungkusan diwajibkan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 Undang-undang ini serta menyebutkan nama dan tempat kerjanya.
Pasal 24
Pengaturan mengenai barang-barang dalam keadaan terbungkus sesuai Pasal 22 dan Pasal 23
Undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
BAB VII
PERBUATAN YANG DILARANG
Pasal 25
Dilarang mempunyai, menaruh, memamerkan, memakai atau menyuruh memakai:
a. alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang bertanda batal;
b. alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang tidak bertanda tera sah
yang berlaku atau tidak disertai keterangan pengesahan yang berlaku, kecuali seperti
yang tersebut dalam Pasal 12 huruf b Undang-undang ini;
c. alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang tanda teranya rusak;
d. alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang setelah padanya
dilakukan perbaikan atau perubahan yang dapat mempengaruhi panjang, isi, berat atau
penunjukkannya, yang sebelum dipakai kembali tidak disahkan oleh pegawai yang
berhak.
e. alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang panjang, isi, berat atau
penunjukkannya menyimpang dari nilai yang seharusnya daripada yang diizinkan
berdasarkan Pasal 12 huruf c Undang-undang ini untuk tera ulang;
f. alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang mempunyai tanda khusus
yang memungkinkan orang menentukan ukuran, takaran, atau timbangan menurut dasar
dan sebutan lain daripada yang dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-undang
ini;
g. alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya untuk keperluan lain daripada
yang dimaksud dalam atau berdasarkan Undang-undang ini;di tempat usaha; di tempat
untuk menentukan ukuran atau timbangan untuk kepentingan umum; di tempat
melakukan penyerahan-penyerahan; di tempat menentukan pungutan atau upah yang
didasarkan pada ukuran atau timbangan.
Pasal 26
Dilarang menawarkan untuk dibeli, menjual, menawarkan untuk disewa, menyewakan,
mengadakan persediaan untuk dijual, disewakan atau diserahkan atau memperdagangkan
secara bagaimanapun juga:
a. alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang bertanda tera batal;
b. alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang tidak bertanda tera sah
yang berlaku, atau tidak disertai keterangan pengesahan yang berlaku, kecuali seperti
yang tersebut dalam Pasal 12 huruf b Undang-undang ini;
c. alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang tanda jaminannya rusak.
Pasal 27
(1). Dilarang memasang alat ukur, alat penunjuk atau alat lainnya sebagai tambahan pada
alat-alat ukur, takar atau timbang yang sudah ditera atau yang sudah ditera ulang.
(2). Alat-alat ukur, takar atau timbang yang diubah atau ditambah dengan cara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diperlakukan sebagai tidak ditera atau tidak ditera
ulang.
Pasal 28
Dilarang pada tempat-tempat seperti tersebut dalam Pasal 25 Undang-undang ini memakai
atau menyuruh memakai:
a. alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya dengan cara lain atau dalam
kedudukan lain daripada yang seharusnya;
b. alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya untuk mengukur, menakar atau
menimbang melebihi kapasitas maksimumnya;
c. alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya untuk mengukur, menakar,
menimbang atau menentukan ukuran kurang daripada batas terendah yang ditentukan
berdasarkan Keputusan Menteri.
Pasal 29
(1). Dilarang menggunakan sebutan dan lambang satuan selain yang berlaku menurut Pasal
7 Undang-undang ini pada pengumuman tentang barang yang dijual dengan cara diukur,
ditakar, ditimbang, baik dalam surat kabar, majalah atau surat tempelan, pada etiket yang
dilekatkan atau disertakan pada barang atau bungkus barang atau pada bungkusnya
sendiri, maupun pemberitahuan lainnya yang menyatakan ukuran, takaran atau berat.
(2). Larangan tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak berlaku terhadap pemberitahuan:
a. tentang benda tidak bergerak yang terletak di luar wilayah Republik Indonesia;
b. tentang benda yang bergerak yang dikirim ke luar wilayah Republik Indonesia.
(3). Pada benda bergerak yang dijual menurut ukuran, takaran, atau timbangan di dalam
bungkusnya yang asli harus dicantumkan sebutan atau lambang satuan yang berlaku
menurut Pasal 7 Undang-undang ini tatkala benda itu dimasukkan ke wilayah Republik
Indonesia.
Pasal 30
Dilarang menjual, menawarkan untuk dibeli, atau memperdagangkan dengan cara apapun juga,
semua barang menurut ukuran, takaran, timbangan atau jumlah selain menurut ukuran yang
sebenarnya, isi bersih, berat bersih atau jumlah yang sebenarnya.
Pasal 31
Dilarang membuat, mengedarkan, membungkus atau menyimpan untuk dijual, atau
menawarkan untuk dibeli, semua barang dalam keadaan terbungkus yang ukuran, isi bersih,
berat bersih atau jumlah hitungannya:
a. kurang daripada yang tercantum pada bungkus atau labelnya, atau
b. menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal 22 Undang-undang ini.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 32
(1). Barangsiapa melakukan perbuatan yang tercantum dalam Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27,
dan Pasal 28 Undang-undang ini dipidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan
atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
(2). Barangsiapa melakukan perbuatan yang tercantum dalam Pasal 30 dan Pasal 31
Undang-undang ini dipidana penjara selama-lamanya 6 (enam) bulan dan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
(3). Pelanggaran terhadap perbuatan yang tercantum dalam Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal
29 ayat (1) dan ayat (3) Undang-undang ini dipidana kurungan selama-lamanya 6 (enam)
bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
Pasal 33
(1). Perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) Undangundang
ini adalah kejahatan.
(2). Perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang- undang ini
adalah pelanggaran.
(3). Barang yang menjadi bukti kejahatan dan atau pelanggaran dapat dirampas untuk
kepentingan Negara.
Pasal 34
(1). Suatu perbuatan kejahatan atau pelanggaran yang berdasarkan Undang-undang ini
diancam hukuman apabila dilakukan oleh suatu badan usaha, maka tuntutan dan atau
hukuman ditujukan kepada:
a. pengurus, apabila berbentuk badan hukum;
b. sekutu aktif, apabila berbentuk persekutuan /perkumpulan orang-orang;
c. pengurus, apabila berbentuk yayasan;
d. wakil atau kuasanya di Indonesia, apabila kantor pusatnya berkedudukan di luar
wilayah Republik Indonesia.
(2). Perbuatan sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini meliputi perbuatan-perbuatan yang
dilakukan oleh pengurus, pegawai atau kuasanya yang karena tindakannya melakukan
pekerjaan untuk badan usaha yang bersangkutan.
(3). Bila orang-orang tersebut dalam ayat (1) sub a, b, c, dan d pasal ini ternyata tidak
bersalah atas perbuatan itu, maka tuntutan dan hukuman dikenakan kepada mereka
yang sengaja memimpin melakukan, menyuruh melakukan atau karena kelalaiannya
mengakibatkan perbuatan kejahatan atau pelanggaran.
(4). Apabila ternyata perbuatan orang-orang tersebut pada ayat (2) pasal ini yang oleh
karenanya menyebabkan pelaksanaan kewajiban keuangan, maka kewajiban tersebut
dibebankan kepada badan usaha yang bersangkutan.
(5). Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini dilakukan oleh badan
usaha lain yang bertindak atas namanya, maka ketentuan ayat (1) sub a, b, c, dan d
pasal ini berlaku juga untuk badan usaha lain tersebut.
Pasal 35
(1). Alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang disita tetapi tidak
dirampas, tidak dikembalikan kepada yang berhak sebelum barang-barang itu atas
biayanya ditera atau ditera ulang.
(2). Penyitaan dilakukan menurut tatacara yang ditentukan oleh Hukum Acara Pidana yang
berlaku.
BAB IX
PENGAWASAN DAN PENYIDIKAN
Pasal 36
(1). Pegawai instansi Pemerintah yang ditugasi dalam pembinaan Metrologi Legal yang
melakukan pengawasan dan pengamatan diwajibkan menyidik tindak pidana yang
ditentukan dalam Undang-undang ini.
(2). Instansi Pemerintah yang ditugasi dalam pembinaan Metrologi legal dalam
melaksanakan tugas tersebut dalam ayat (1) pasal ini dapat meminta bantuan kepada
instansi Pemerintah yang melakukan pengawasan dan pengamatan dalam bidangnya
masing-masing yang ada hubungannya dengan pengukuran, penakaran dan atau
penimbangan.
(3). Pegawai tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak melakukan penyegelan, dan atau
penyitaan barang yang dianggap sebagai barang bukti .
(4). Pegawai tersebut pada ayat (1) pasal ini dapat melaksanakan tugasnya di tempattempat
tersebut pada Pasal 25 Undang-undang ini dalam waktu terbuka untuk umum.
(5). Pegawai tersebut pada ayat (1) pasal ini dapat melaksanakan tugasnya antara pukul
06.00 sampai pukul 18.00 waktu setempat di tempat-tempat yang tidak boleh dimasuki
umum, yang seluruhnya atau sebagian dipakai sebagai tempat yang dimaksud dalam
Pasal 25 Undang-undang ini.
(6). Jika dalam waktu tersebut pada ayat (4) dan ayat (5) pasal ini pegawai yang melakukan
penyidikan tidak diperkenankan masuk, maka mereka masuk dengan bantuan penyidik
Kepolisian Republik Indonesia.
(7). Penyidikan dilakukan menurut tatacara yang ditentukan oleh Hukum Acara Pidana yang
berlaku.
BAB X
ATURAN PERALIHAN
Pasal 37
Alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang disahkan berdasarkan
Ijkordonnantie 1949 Staatsblad Nomor 175, dapat disahkan pada waktu tera ulang jika sifatsifat
ukurnya memenuhi syarat batas-batas kesalahan yang ditentukan berdasarkan Undangundang
ini, tanda-tanda, sebutan-sebutan atau nilai-nilai yang disebut padanya masih tampak
terang dan tahan lama.
Pasal 38
Ketentuan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang telah ada yang tidak
bertentangan dengan ketentuan Undang-undang ini masih tetap berlaku sampai peraturan
tersebut dicabut atau diganti dengan peraturan yang baru.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 39
(1). Pada saat berlakunya Undang-undang ini maka Ijkordonnantie 1949 Staatsblad Nomor
175 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.
(2). Hal-hal yang belum atau belum cukup diatur dalam Undang-undang ini diatur lebih lanjut
dengan peraturan perundang-undangan
Pasal 40
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 1 April 1981
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SOEHARTO
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 1 April 1981
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
SUDHARMONO, SH.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar